RANGKUMAN
SISTEM SOSIAL INDONESIA
“Dr. Nasikun”
Wista
Dwi Handono Pambudi
(104674221)
PROGRAM
STUDI S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN
PMP-KN, FAKULTAS ILMU SOSIAL,
UNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA
2012
BAB 1
PENDAHULUAN.
Pertempuran yang
terjadi dimasa pra-kemerdekaan ataupun pasca-kemerdekaan, telah memberi
gambaran pada kita apa itu konflik. Peristiwa tersebut merupakan serentetan
konflik yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadikan 17
Agustus 1945 merupakan lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Sebelum dan
sesudah itu, bangsa indonesia mengalami pertentangan-pertentangan yang muncul
justru dari para tokoh elit sosial-poltik bangsa. Sebelumnya itu, mereka saling
membantu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka tak mengedepankan hasrat
ego mereka masing-masing. Namun setelah itu muncullah peristiwa pemberontakan,
yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun 1948, DI/TII , PRRI-Permesta, G30
S/PKI,dll. Yang berusaha meruntuhkan kesatuan NKRI.
Keadaan itu
memiliki makna bahwa “ Bhineka Tunggal Ika “ sesungguhnya hanya teori semata,
belum diterapkan secara nyata oleh bangsa ini. Perkataan itu merupakan
cita-cita yang masih perlu diwujudkan bagi segenap bangsa kita ini. Akan
tetapi, konflik-konflik sosial didalam masyarakat senantiasa memiliki kedudukan
dan pola masing-masing. Dikarenakan sumber yang menjadi penyebabnya pun
memiliki jenis yang tidak sama. Apabila kita disodori pertanyaan : faktor laten
apakah yang sebenarnya menjadi penyebab dari munculnya pertentangan yang
terjadi diatas, dan apa pula yang menjadi sumber yang bersifat laten bagi
konflik-konflik sosial yang mungkin saja terjadi di Indonesi dikelak kemudian
hari? Hanya melalui pemahaman yang mendalam mengenai sumber penyebabnya, maka
konflik sosial internal bangsa akan dapat kita hindari. Secara psikologis kita
memiliki kecenderungan untuk menekan kenyataan-kenyataan tersebut ke dalam
dunia bawah sadar kita, bukan saja kita mengira bahwa dengan demikian kita akan
dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam, namun sesungguhnya kita iidak
menyukai kenyataan tersebut. Konflik yang terjadi diantara sesama kita adalah
sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong-royong yang kita muliakan,
sesuatu yang menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung
tinggi.
Yang tidak pernah
kita sadari adalah, mekanisme psikologis seperti itu akan membawa kita
berlarut-larut kedalam konflik yang berkepanjangan, dan sulit untuk dipecahkan.
Sehingga kita akan kehilangan kepekaan kita terhadap perkembangan-perkembangan
yang akan dapat memecahkan konflik. Sementara kita terpesona dengan anggapan
bahwa konflik yang terjadi akan dapat kita atasi dengan gotong-royong dan
semangat Bhineka Tunggal Ika, kita akan terkejut dengan kenyataan bahwa konflik
yang terjadi secara tiba-tiba menjadi dahsyat. Dengan menyadari akan adanya konflik-konflik
sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat kita, memungkinkan kita untuk
mencari faktor-faktor penyebabnya.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
Sudut
pendekatan yang perlu mendapatkan perhatian pertama kali adalah sebuah
pendekatan yang sangat berpengaruh dikalangan para ahli sosiologi selama
beberapa puluh tahun terakhir ini. Pendekatan tersebut menganggap bahwa
masyarakat, sesungguhnya terintegrasi atas dasar kesepakatan antar anggota
mereka. Ia memandang masysarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional
terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya, yang
demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai Integration approach,
order approach, equilibrium approach, atau dengan lebih populer disebut sebagai
structural-functional approach. ( Selanjutnya disebut pendekatan fungsional
struktural atau fungsionalisme-struktural ). Teori-teori yang mendasarkan diri
pada sudut pendekatan tersebut, biasa dikenal pula sebagai integration
theories, order theoris, equilibrium theories, atau lebih dikenal sebagai
teori-teori fungsional struktural.
Pendekatan
fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan
para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka
sebagai berikut :
- Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
- Denagan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
- Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis.
- Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut akan teratasi dengan sendirinya pada akhirnya, melalui penyesuaian-penyesusaian dan proses institusionalisasi.
- Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak secara revolusioner.
- Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan: penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut, terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar ( extra systemic change ): pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional: serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
- Faktor paling penting yang memiliki daya menintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Dengan cara
lain dapat dikatakan, bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain
adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi
sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang
tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar
penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang
paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa
yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang
sesungguhnya membentuk struktur sosial. Equilibrium dari suatu sistem sosial
terjaga oleh beberapa proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang
paling penting untuk mengendalikan hasrat masyarakat pada tingkat dan arah yang
menuju terpeliharanya kontinuitas sistem sosial, adalah mekanisme sosialisasi
dan pengawasan sosial ( social control ).
Parson dan
para pengikutnya tidak dapat dikatakan telah berhasil membawa pendekatan
fungsionalisme struktural ketingkat perkembangan yang lebih berpengaruh
pada pertumbuhan teori-teori sosiologi hingga saat ini. David Lockwood
mengritik pendapat Parson, kita dapat menyaksikan betapa pendekatan
fungsionalisme struktural terlalu menekan berdasarkan pada peranan unsur
normatif dan tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses dimana keinginan
seseorang diatur secara normatif untuk menjamin kesetabilan sosial. Tata tertib
dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-sama di dalam setiap
sistem sosial. Adanya tata tertib sosial bukan berarti akan hilangnya konflik
di masyarakat. Sebaliknya, lahirnya tata tertib sosial justru menggambarkan
adanya konflik yang bersifat potensial di dalam setiap masyarakat.
Anggapan
awal bahwa setiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai
stabilitas atau equilibrium di atas konsensus para anggota masyarakat
akan nilai-nilai umum tertentu, mengakibatkan para penganut pendekatan
fungsionalisme struktural kemudian menganggap bahwa disfungsi
ketegangan,penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial
yang semakin kompleks, adalah akibat daripada pengaruh faktor-faktor yang datng
dari luar. Pandapat seperti itu mengesampingkan kenyataan sebagai berikut:
- Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri, mengandung konfli-konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, yang pada saatnya akan menjadi sumber terjadinya perubahan sosial.
- Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar ( extra-systemic change ) tidak selalu bersifat adjustive.
- Sistem sosial, dalam jangka panjang juga akan mengalami konflik sosial yang bersifat visious circle.
- Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui adaptasi yang lunak, akan tetapi juga dapat terjadi secara revolusioner.
Oleh karena
itu ia mengabaikan kenyataan itu, maka pendekatan fungsionalisme struktural dipandang
oleh para ahli sosioligi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, dan oleh
karenanya dianggap kurang mampu menganalisis masalah perubahan kemasyarakatan.
Pendekatan tersebut dianggap mengabaikan kenyataan bahwa konflik dan
kontradiksi intern dapat merupakan sumber tejadinya perubahan dalam masyarakat,
tetapi sistem sosial terkadang tidak selalu mampu beradaptasi terhadap
perubahan yang datang dari luar. Terkadang sistem sosial memang dapat
menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar tanpa
terjadinya disintegrasi sosial. Namun tidak jarang, sistem sosial akan menolak
perubahan yang datang dari luar, baik secara status quo ataupun dengan
tindakan reaksioner. Keadaan tersebut berimbas akan terjadinya disfungsional
pada bagian-bagian tertentu, yang akan menimbulkan ketegangan sosial. Apabila
faktor eksternal tersebut berpengaruh kuat terhadap bagian-bagian sistem
sosial, maka disfungsi dan ketegangan akan tumbuh secara komulatif serta
mengundang terjadinya perubahan sosial yang bersifat revolusioner.
Sementara conflic approach masih
dapat kita bedakan, yakni structuralist-Marxist dan structural-Non-Marxist.
Berdasarkan dari fungsionalisme struktural, maka pandangan pendekatan
konflik berpangkal pada anggapan-anggapn dasar sebagai berikut:
- Setiap masyarakat selalu berada pada proses perubahan yang tak pernah berujung, bisa dikatakan bahwa perubahn sosial merupakan gejala yang melekat pada masyarakat.
- Konflik merupakan gejala yang identik dengan masyarakat.
- Setiap unsur dalam masyarakat, memberikan potensi terjadinya integrasi dan perubahan sosial.
- Setiap masyarakat, didominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang lain.
Bentuk
pengendalian konflik sosial yang pertama dan paling penting adalah apa yang
disebut konsiliasi ( conciliation ). Pengendalian tersebut terwujud
dalam lembaga yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi, dan pengambilan
keputusan antar pihak yang berlawanan mengenai persoalan yang dipertentangkan.
Dalam hal itu,bermaksud agar lembaga-lembaga tersebut harus memenuhi setidaknya
empat hal, yaitu:
- Lembaga tersebut harus bersifat otonom.
- Lembaga tersebut harus berifat monopolistis didalam masyarakat.
- Peranan lembaga harus mengikat dan memaksa, dapat dikatakan sebagai pengendali sosial.
- Lembaga yang bersangkutan harus bersifat demokratis.
Tanpa
keempat hal tersebut,konflik akan menjadi semakin bertambah rumit,dan akan
semakin sulit untuk dipecahkan. Namun,hal tersebut dapat diatasi apabila
kelompok yang berkonflik memenuhi tiga macam persyaratan:
- Masing-masing kelompok harus menyadari, bahwa mereka terlibat dalam suatu konflik, dan menyadari perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua.
- Penyelesaian konflik tersebut akan mudah dikendalikan apabila kelompok yang berkonflik terorganisir dengan jelas.
- Kelompok yang berkonflik harus mematuhi aturan-aturan tertentu, sehingga memungkinkan hubungan sosial antar mereka kembali membaik.
Tanpa semua
itu, lembaga diskusi macam apapun tidak akan berjalan dengan baik, justru akan
menimbulkan konflik. Cara pengendalian yang efekti adalah dengan mediasi ( mediation
), dimana kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai
penengah, yang akan memberi nasihat tentang bagaimana seharusnya mereka
bertindak. Walaupun nasihat tersebut tidak mengikat kedua belah pihak, namun
cara ini terkadang sering menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Apabila
tidak berhasil,kita dapat menggunakan cara yang lain. Yaitu dengan perwasitan (
arbitration ), dalam hal ini pihak yang bertikai terpaksa harus menerima
keputusan dari pihak ketiga. Tetapi meraka berhak untuk mengajukan usulan,
kendati mereka mau-tidak mau harus menerima keputusan pihak ketiga.
BAB III
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT
INDONESIA.
Struktur
masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua. Yaitu, secara horisontal yang
ditandai oleh adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa,
agama, adat-istiadat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial
masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan sosial antara kelas atas
dan kelas bawah yang sangat tajam.
Perbedaan
suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan, merupakan ciri masyarakat Indonesia
yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai
penggambaran masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk ( plural
societies ), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen
yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang berada pada
satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe masyarakat daerah
tropis, dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan
ras.
Dalam
kehidupan berpolitik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang
bersifat majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama ( common will ).
Dalam kehidupan ekonomipun juga tidak ada kehendak bersama, sehingga
disimpulkan tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh
seluruh elemen masyarakat ( common social demand ). Menurut
Furnivall, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang
berdaulat, berangsur-angsur melalui periode waktu tertentu membentuk peradaban
dan kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik berupa sastra, seni lukis,
maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan di dalam kehidupan
sehari-hari.
Karakteristik masyarakat majemuk
menurut Pierre L. Van den Berghe adalah:
- Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
- Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-komplementer.
- Kurang berkembangnya konsensus antar anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
- Relatif sering terjadi konflik antar anggota kelompok.
- Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
- Terjadi domonasi politik oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia. Keadaan
geografis wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar
di daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih
dari 1.000 mil dari utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya
pluralitas suku bangsa Indonesia.
Faktor
kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera Indonesia dan
samudera Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama di dalam
masyarakat. Letak indonesia yang berada ditengah-tengah jalur persimpangan
perdagangan dunia, memungkinkan Indonesia menerima pengaruh kebudayaan bangsa
lain melalui pedagang asing.
Iklim yang
berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama antara daerah di kepulauan Nusantara
ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia.
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan
dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni: daerah
pertanian sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di
pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting cultivation) yang
banyak kita jumpai di luar pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabakan
terjadinya kontras perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa di dalam bidang
kependudukan, ekonomi, dab sosial-budaya.
Segala macam
perbedaan di atas merupakan dimensi horizontal strutur masyarakat Indonesia.
Sementara secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat
dengan semakin berkembangnya polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan
kekayaan. Dengan semakin berkembangnya dalam sektor ekonomi modern beserta
organanisasi administrasi nasional yang mengikutinya, maka terjadi pelapisan
sosial politis yang sangat kontras antara golongan atas dan golongan bawah.
Ketimpangan tersebut berakar dari zaman Hindia-Belanda, oleh Boeke digambarkan
dengan dual economi.
Dalam
sisitem dual economi, dua sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan.
Yaitu sekotor ekonomi modern yang lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak
berkaitan dengan perdagangan Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan
yang semaksimal mungkin. Sektor kedua yaitu sektor ekonomi pedesaan yang
bersifat tradisional, yang menjaga motif keamanan dan kelanggengan tidak
berminat untuk mengharap keuntungan yang maksimal. Perbedaan tersebut secara
integral terjadi dalam keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di daerah
pedesaan dan perkotaan.
BAB IV
STRUTUR KEPARTIAN PERWUJUDAN
STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA.
Segala macam
perbedaan yang terjadi di Indonesia secara analitis dapat dibicarakan secara
sendiri-sendiri, dan dapat menjadi suatu jalinan yang menghasilkan berbagai
macam kelompok semu atau lebih dikenal dengan golongan. Golongan tersebut dapat
diklasifikasikan berdasarkan suku, agama, kelas sosial, tempat tinggal, dan
lain-lain. Namun sejak awal abad 20, terutama setelah kemerdekaan kelompok semu
tersebut berubah menjadi kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan
yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik. Tetapi pada awalnya mereka
lebih menekankan pada sosial budaya dari pada politik, baru kemudian hari
kelompok tersebut mengubah sifatnya kepartai politik.
Sejak
merubah sifatnya menjadi partai politik timbullah berbagai macam konflik yang
terjadi antar suku, agama, daerah, stratifikasi sosial, dan lain sebagainya.
Kompleksitas itulah yang telah membuka timbulnya macam berpikir yang
ditunjukkan oleh berbagai macam partai paolitik di Indonesia. Herbert Feith
misalnya, melihat konflik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber
pada ketegangan yang terjadi antara pandangan tradisonal dan pandangan modern.
Pandangan tradisonal yang berpedoman pada tradisi Hindu-Jawa dan Islam, sedang
pandangan modern yang berkiblat pada barat.
BAB V
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN
MASALAH INTEGRASI NASIONAL.
Struktur
masyarakat Indonesia yang majemuk, melahirkan masyarakat yang bersifat
multi-dimensional yang menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat
Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial memberi
bentuk integrasi nasional yang bersifat vertikal. Van den Berghe membagi sifat
dasar masyarakat majemuk menjadi beberapa yaitu:
- Memiliki sub-kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
- Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga non-komplementer.
- Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang besifat dasar.
- Sering terjadi konflik.
- Secara relatif integrasi terjadi karena paksaan, dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
- Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok dengan kelompok lainnya.
Oleh karena
sifat yang demikian, maka van den Berghe menyatakan bahwa masyarakat majemuk
tidak dapat digolongkan kedalam salah satu jenis masyarakat menurut analisis
Emile Durkheim. Masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang
memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmentasi, tetapi juga tidak
dapat digolongkan kedalam masyarakat yang memiliki diferensiasi dan
spesialisasi tinggi. Dalm keadan yang demikian, menggunakan terminologi Emil
Durkheim, maka van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang
diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis yang diikat
oleh saling ketergantungan di antara bagiab-bagian dari suatu sistem sosial,
tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersifat
majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa pendapat para penganut
fungsionalisme struktural masih harus dipertimbangkan validitasinya untuk
menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.
Mengikuti
pandangan mereka, suatu sistem sosial selalu terintegrasi di atas landasan dua
hal berikut. Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas
tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai
kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Dari sudut lain, masyarakat
senantiasa terintegrasi karena setiap anggota masyarakat sekaligus menjadi
anggota kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Karena setiap
konflik yang terjadi antar kesatuan sosialakan segera dinetralisir dengan
adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota
masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Keduanya
mendasari terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat yang bersifat majemuk,
karena tanpa keduanya tidak akan terbentuk suatu masyarakat. Segmentasi dalam
bentuk kesatuan sosial yang terikat dalam primordial edengan su-kebudayaan yang
berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik antar kelompok sosial.
Dalam hal ini ada dua macam tingkatan konflik yang mungkun terjadi, yaitu:
- Konflik ideologis.
Konflik
tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial.
- Konflik politis.
Terjadi
dalam bentuk pertentengan di dalam pembagian status kekuasan, dan sumber
ekonomi yang terbatas ketersediaannya di dalam masyarakat. Di dalam situasi
konflik, maka secara sadar atau tidak sadar, maka anggota kelompok akan
mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas antar anggota.
Dengan
adanya masyarakat yang majemuk, maka melahirkan keanggotan yang saling
menyilang. Cross-cutting affiliations yang telah menyebabkan konflik
antar golongan tidak terjadi terlalu tajam. Konflik suku bangsa misalnya, akan
segera meredam oleh bertemunya loyalitas agama. Demikian juga sebaliknya,
apabila terjadi konflik agama, daerah, atau lapisan sosial. Karena cross-cutting
affiliations senantiasa menghasilkan cross-cutting liyalities maka
pada tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga terintegrasi atas dasar
tumbuhnya perbedaan. Bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai
nasionalisme Pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan
mekanisme pengendalian konflik yeng bersifat coercive, dengan struktur
silang-menyilang itulah Indonesia tetap dapat lestari walau harus menghadapi
permasalahan akibat dari kemajemukan masyarakatnya.
0 komentar:
Posting Komentar